Distraksi Pabrik Kebahagiaan–Kisah Si Tukang Scroll Up
Hai!
Udah lama banget kita terbenam dengan kesibukan masing-masing. Bener ngga?
Kalau ditulisan sebelumnya kamu sempat tersesat, entah ngga sengaja atau menyesatkan
diri dengan kasih klik di judul-judul nglantur
lainnya, kali ini aku harap kalian sedang dalam kondisi sadar. Oh iya, kali ini
dalam rangka menghidupkan kembali ghiroh menulisku,
aku pengen berbagi cerita tentang secuplik pengalamanku saat berselanchar media
sosial. khususnya instagram. Kenapa
instagram? Karena aplikasi ini salah satu yang paling sering kebuka di Hempon,
nama ponsel pintarku. Semoga ada yang bisa diambil hikmah, ya!
Aku
teringat klaim dari salah satu dosen mata kuliah favoritku, jurnalistik online
yang mengatakan bahwa instagram adalah
pabrik kebahagiaan. Terkekeh aku mendengarnya. Alasannya karena jika diamati,
melalui instagram-lah konten-konten aktivitas yang kadar ‘suka’
terlihat lebih besar daripada ‘duka’nya diproduksi. Iya, pabrik. Karena di
pabrik ada aktivitas pembuatan, atau penyusunan material-material. Disini materialnya
berupa simbol, gambar dan suara yang akhirnya membentuk pemaknaan tersendiri buat
para fallawersnya. Akhir-akhir ini di
era proposal skripsi (proskrip), mahasiswa semester enam, khususnya aku
sih...(heheh), sering banget terdistraksi sama hal-hal yang sifatnya mengalihkan
fokus untuk sementara. Sesekali scrool up
konten motivasi dengan dalih refreshing
setelah seharian ngotot-ngototan sama teori, instagram jadi salah satu pelarian diri. Btw, aku pernah juga uninstal instagram aku, kerena saking
seringnya mantengin the whole virtual
world. Walhasil, revisi ngga selesai-selesai, cuyy!
Barangkali
istilah pabrik kebahagiaan cocok dilekatkan ke aplikasi ini. Karena dengan
menonton konten-konten yang kita kehendaki, membuat kita merasa puas dan
bahagia. Contoh, kita lagi pengen ketawa ngakak, maka dari itu kita buka akun
dag*l*n, atau ngakak r*c*h, dan akun bodor
selainnya. Di sisi lain kita juga bisa menonton kebahagiaan yang dishare temen-temen atau akun-akun yang
kita fallaw. Fitur instagram story seolah membuat kita menjadi
tidak punya pilihan atas konten yang kita konsumsi. Gimana engga? Begitu buka,
kita langsung disuguhi dengan story-story
temen kita atau akun-akun lain yang muncul di halaman pertama ketika kita
buka aplikasi ini. Apalagi, kalo yang nongol di bunderan kedua dari kiri itu
gebetan kita, atau temen deket kita, atau sosok yang kita figurkan dan
idolakan. Hempphh...pasti di klik duluan. Iyee ngga? Iyelah. #dih, maksa. Atau
bisa jadi, dengan refleks tangan kita asal swipe
ke kanan-kiri tanpa peduli penting
atau ngga kita tau isi story itu.
Belom lagi akun-akun olshop yang
ng-iklan sembarangan di rentetan di kolom story
kita. Yang ada disitu seolah bilang gini, “woy, ayoo dooongs, tonton akuh”, dan
kita mau aja coba! Apalagi nih ya.. kalo isinya mereka yang lagi pada liburan
entah keluar atau ke dalem negeri, ikut lomba dan meraih prestasi, perayaan engagment bahkan pernikahan. Atau
promosi make up stuff buat para cewek,
dan produk-produk lain yang me-leleh-kan mata. Oops, hehehe....jangan sampai
terdistraksi,ya! Oh iya, kenapa aku pake diksi terdistraksi? Emang
‘terdistraksi’ sendiri maksudnya gimana? Kenapa kita bisa gampang banget
terdistraksi? Dan gimana caranya menyikapi hal-hal yang berpotensi mendistraksi
tersebut? Sharing dikit boleh, lah
ya.
Apa Sih ‘Terdistraksi’
itu?
Berasal
dari kata serapan yaitu distract yang
memiliki beberapa arti tekstual, yaitu: mengalihkan, mengganggu, membingungkan,
dan mengacaukan pikiran. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rosen, Carrier
dan Cheever tahun 2013, pengguna (remaja) internet gampang banget terdistraksi
ketika mereka sedang mengerjakan tugas di tempat yang dikelilingi perangkat
digital. Menurut mereka, penggunaan teknologi komunikasi dan informasi bisa
bikin seseorang cenderung multitasking, atau
mengerjakan beberapa pekerjaan berbeda di waktu yang bersamaan. Tetapi Du dalam
Anggraini (2018), menjelaskan bahwa
ditinjau dari segi kognitif, kalau multitasking
ngga ditempatkan dalam kondisi yang sesuai, justru bisa menghambat
produktifitas seseorang secara kognitif. Multitasking sendiri macam-macam
bentuknya, loh. Tapi kali ini aku bakal bahas kaitannya multitasking dengan proses kognisi seseorang aja. Gimana tuh? Yuk,
lanjoot!
Hal yang Bikin Kita
Terdistraksi
Kok
bisa, kita mudah terdistraksi? Emangnya apa yang bikin kita terdistraksi?
Masih
di penelitiannya Du, nih. Aktivitas multitasking terjadi dalam dua proses
kognitif, yaitu perubahan dan koordinasi kognitif. Perubahan kognitif adalah
kemampuan dalam memahami permasalahan informasi, dimana terjadi ketika sesorang
menerima informasi baru. Kognitifnya jadi berubah memahami informasi baru
tersebut. Kemaren waktu aku lagi cari tas di olshop. Seperti biasa, instagram
sekarang fungsinya jadi etalase digital gitu, kan? Jadi dengan mengetikkan
simbol ajaib ‘hastag’ kutulis #tasalajepang, terus muncul banyak banget pilihan
brand, model, warna, dan ragam harganya. Setelahnya aku memutuskan untuk
menjatuhkan pilihan pada satu model di brand tertentu. Kusimpan postingan itu,
kemudian kututup instagramku. Aih..!
begitu buka lagi, kolom story ku isinya promo tas semua. Hal ini membuat aku
kembali mempertimbangkan tas yang kemarin aku pilih. Belom kubayar sih. Akibatnya
aku jadi bingung memutuskan mana tas yang bakal aku pilih, karena semakin
banyak informasi baru yang aku terima semakin kompleks pertimbangan di otakku.
Sementara kordinasi kognitif merupakan kemampuan mengelola informasi. Pada
proses ini seseorang akan kembali menghubung-hubungkan data-data informasi
sebelumnya dengan informasi baru. Tantangannya disini adalah, mau seberapa lama
dan gimana caranya sesorang bisa kembali fokus ke tujuan awal ia mencari
informasi? Ini masih soal nyari ‘tas ala Jepang’. Bukan nyari jati diri loh ya!
Wkwkwk.
Secara
umum ketika seseorang menerima informasi, setidaknya mereka melalui empat
aktifitas kognisi berikut: (1) identifikasi masalah, (2) pelafalan kebutuhan,
(3) formulasi pertanyaan, dan (4) evaluasi hasil pencarian. Pada tahap
identifikasi masalah, seseorang udah punya rumusan atas masalah yang sedang ia
hadapi. Semisal, “aku lagi galau nih, skripsi revisi mulu, cari duit sana-sini
ngga nemu”, hahaha. Kemudian beralihlah ke tahap selanjutnya, “kira-kira aku
butuh apa, ya? Oh iya, motivasi!”. Dengan trengginas meraih Hempon dan buka instagram. Beruntung kalau menemukan
konten-konten yang sesuai dengan kebutuhan, seperti akun-akun psikologi atau
konten ala-ala golden ways. Tahapan
formulasi pertanyaan akan bertindak menyesuaikan diri antara kondisi yang
sednag dialami dengan informasi yang diterima, sesuai atau tidak. Tapi kalau nemunya yang justru bikin
baper, entah mantan nikah lah, musuh bebuyutan udah keterima kerja di Dubes
lah, atau sepupu yang selalu jadi saingan udah naik haji. Beuhhh....bukan malah
termotivasi, malah frustasi. Wkwkwk, ngga lah ya..#canda. Bukan bermaksud
diskriminasi gengs, penelitian Du ini juga menjelaskan bahwa kinerja kognisi
juga dipengaruhi faktor internal, diantaranya keadaan pikiran yang tenang,
suasana hati, maupun kesehatan fisik. Ketiganya mampu memberikan dampak yang
signifikan kepada kemampuan menerima informsi yang masuk. Bayangin aja kalau
kita lagi dalam kondisi capek-capeknya (pulang sekolah, kuliah, atau kerja
misalnya), ditambah dapet pressure sana-sini
dimana kemampuan rasional kita juga lagi dibawah standar, kemudian diterpa
dengan atau tanpa sengaja oleh informasi-informasi yang berpotensi mendistraksi
kita. Lantas apa jadinya? Kasus-kasus yang sering terjadi contonya seperti inferiority complex, krisis kebermaknaan
hidup, atau justru pergi menjauh dari diri sendiri (yang satu ini aku bingung
ngejelasinnya-terjemahin sendiri ya!). #Naudzubillaah. Pada intinya, semakin
banyak topik, dan informasi yang terlibat di dalam otak kita, maka semakin
kompleks juga perubahan dan koordinasi kognitif kita. Sehingga wajar jika kita
semakin mudah terdistraksi.
Terus, Gimana Biar Ngga
Gamvang Terdistraksi?
Menyikapi
hal-hal yang berpotensi mendistraksi pikiran kita memang gampang-gampang susah.
Karena untuk dapat menerima informasi dengan signifikan, sarat akan kondisi
kognitif yang siap. Fokus pada apa yang menjadi tujuan kita adalah salah satu caranya. Biar
lebih operasional, fokus ini kita terjemahkan secara sederhana saja, ya.
Dimulai dari fokus pada hal-hal yang menjadi prioritas dalam hidup bisa
memudahkan kita dalam berpikir, dengan mengesampingkan terlebih dahulu faktor
ekternal. Dengan demikian, setidaknya kita mmeberikan ruang untuk mengenali
diri kita sendiri, tentang siapa kita, apa kesukaan kita, apa bakat dan
kemampuan kita, atau kepribadian dan kebiasaan-kebiasaan kita, serta
tujuan-tujuan kita. Masing-masing orang punya latar belakang yang berbeda-beda,
tujuan yang berbeda-beda, hingga cara menapaki jalan hidup yang berbeda-beda. Instagram memang gudangnya infomasi
mulai dari yang kita butuhkan, sampai yang engga. Ia bisa menjadi pemenuh
kebahagiaan kita, karena kita bisa konsumsi konten yang kita mau, sekaligus
memproduksi konten yang akhirnya menuai banyak simpati dan apresiasi yang bikin
kita seneng. Tapi bikin kita terdistraksi juga mungkin banget. Jangan
keburu-buru lihat keluar kalo di dalam aja belom total menemukannya.
Tips
kedua adalah tetep rasional, dan jangan emosional. Hal-hal yang berpotensi
‘mendistraksi’ mudah menyerang seseorang dengan emosi yang dominan. Salah satu
yang menjadi rem dikala emosi sedang blong
adalah kemampuan berpikir secara rasional. Seringkali informasi yang kita terima
di media sosial kurang relevan dengan apa yang sebenernya kita butuhkan. Berpikir
rasional memudahkan kita mengidentifikasi masalah, merumuskan masalah hingga
memikirkan solusinya. Pemilihan informasi dan pengelolaan informasi yang tidak
didasari dengan rasionalitas yang ajeg, maka sulit kiranya menghasilkan solusi.
Tips
terakhir dari aku, kurangi aktifitas scrool up di media sosial. Mengurangi yang aku maksud disini tuh
lebih ketat dalam manajemen kebutuhan dan manajemen waktu. Emang sih.. kalaupun
bisa, awalnya berat banget. Tapi kita bisa mendudukkan dulu tujuan merbedia
sosial untuk apa. Semisal refreshing.
Butuh berapa menit/jam, sih? Kalo ngga ngga dibatasi namanya bukan refreshing lagi, tapi nonproductive never ending. Dengan
mengenali kebutuhan berselancar media sosial, kita jadi tahu apa yang menjadi
kebutuhan kita dan kapan itu bisa dipenuhi.
Waah,
udah hampir lima ratus kata ajah. Semoga bisa memberikan perspektif baru buat
kalian para pembaca yang mampir ke ruang belajarku ini. Oh iya for your
informesyen nih, artikel ini aku coba combine
sama disertasi temuanku, karya Desak Made Diah Anggraini dengan judul
Dorongan dan Proses Kognitif Dalam Perilaku Multitasking Pada Pengguna Web Searching
di Kalangan Mahasiswa Sebagai Pembuat Konten (Content Creator). So...boleh banget di cek! Sangat terbuka untuk
diskusi, kritik dan saran. Terimakasih, sudah mampir!
Wah... Sepakat banget nih sama Kak Ol, kebiasaan milenial banget yah Scroll Up Instagram. Bahkan sudah jadi makanan pokok pendamping nasi, yekan?! hehe. Kadang suka nggak kerasa udah berjam-jam aja mantengin Instagram. Padahal revisi setumpuk lagi setia nungguin kita -nggak sadar apa yak. Tengkyuh banget buat Tipsnya Kak Ol, meskipun terkadang memulai hal yang baru memang berat, apalagi dari kebiasaan yang sudah sangat mengerak. Tapi masih berat rindu kok ehe.
BalasHapusHalo Imtiyaz! Timakasi sudah komen. Ehehe, emg sesekali kita hrus tega sama diri sendiri buat lbih mendisiplinkan jari2nya biar ngga kebablasan.
Hapus