Menjurnalkan Rasa Syukur
Assalamualaikum, hai Bung...! Aku sudah lama sekali tak menyapamu dengan sebutan ini bukan?
Ini sudah lewat seminggu lebih dari
jadwal seharusnya, aku memposting surat cinta ini untukmu. Dan, aku yakin kalau
kau murah maaf. Hehehe, maaf ya! T_T. Aku menyadari betul, bahwa di awal
bertambahnya aktivitas baruku ini membuatku harus menata ulang bagian-bagian dari
diriku yang berserakan. Jadwalku, pikiranku maupun mental, kesemuanya masih aku
upayakan agar tetap berjalan semestinya.
Walaupun begitu, percayalah aku
menemukan energi di saat-saat dimana aku memunguti serpihan diriku yang
bercecaran ini. Energi itu bernama syukur.
Yang kurasakan, energi ini sangat berpengaruh bagiku dalam melanjutkan
perjalanan. Percaya tidak? Dia menjadi bekal pokok yang sangat aku perlukan
selama pelayaran ini.
Saat melewati beberapa pulau
Kita sempat dan cukup sering
bertukar peta kita satu sama lain, rencana berhenti pada pulau-pulau tertentu
juga kerap kali didiskusikan. Kau mau kesana, aku mau kesini, lalu kemudian
kita pun kerap bertemu di pulau yang sama untuk menyempatkan bertukar cerita
lagi. Hingga hari ini kita pun masih berada pulau yang berbeda. Aku menyadari
betul setiap manusia, dan tidak terkecuali kita, memiliki hak untuk mengarungi
jalur pelayaran kita sendiri, dan bebas menentukan dimana kita hendak berhenti,
bahkan tinggal pada atau selama periode tertentu. Tapi bukan berarti kita
berlayar tanpa tujuan. Aku yakin, suatu saat kita pun tiba di dermaga yang
sama.
Bung, seperti yang kuceritakan
soal salah satu titik pemberhentianku saat ini. Yap pekerjaan baruku. Kurang
lebih 5 bulan aku menunggu balasan email dari lowongan-lowongan yang kulamar,
alhamdulillah aku diterima di panggilan pertamaku. Cukup terasa, kurang lebih 15
tahun aku menuntut ilmu dengan studi karir yang pada akhirnya mengantarkanku
pada jurusan yang berkubang dengan kata-kata. Saat ini, aku pun berkesempatan
bekerja di salah satu industri kreatif di bidang fashion. Bidang yang cukup
sedikit aku ketahui tentangnya, sebenarnya. Namun setidaknya aku masih perempuan
yang cukup menyukai keindahan [hehe]. Terlebih aku suka bercerita, aku masih
berharap ada yang bisa kutemukan di tempat ini.
Oh ya, aku pun belum sempat
menceritakan soal bagiaman pertemuanku dengan lowongan ini. singkatnya, Dienda,
salah seorang temanku yang mengirimkanku story
lowongan copywriter ini. katanya, gambar ilustrasiku lucu dan “coba aja lak!”.
Aku berterimakasih padanya karena telah menginformasikanku. Walaupun sebenarnya
aku ragu karena minimnya pengetahuanku di bidang fashion, tapi waktu itu aku
masih optimis bahwa skill dan pengetahuan dasar yang aku peroleh waktu sekolah
masih bisa menjawab kebutuhan di era digital ini.
Manusia memang suka tidak pernah
puas. Akupun pernah mengalami fase dimana aku hampir kehabisan salah satu
bekalku. Kebermaknaan. Aku sempat merasa bahwa kesempatan bekerja yang aku
peroleh saat ini bukan pekerjaan impianku, bukan perusahaan impianku. Aku
mencoba mengingat-ingat kembali pengalaman dan perbincangan bersama teman dan
orang-orang terdekatku, termasuk dirimu. Ternyata hal terpenting adalah adanya
pembelajaran di setiap kesempatan tersebut. Aku juga lupa bahwa aku masih punya
bekal lainnya yang tak kalah penting. Rasa syukur.
Rasa syukur karena telah menerima
pendidikan hingga hampir 2/3 dari usiaku saat ini. Aku sangat bersyukur karena setidaknya
aku menyadari bahwa aku adalah seorang manusia yang dicipatakanNya dengan
alasan. Aku bersyukur dikelilingi pelaut-pelaut lain yang turut serta membersamaiku
berlayar, memberi dan mengingatkanku saat aku salah membaca kompas, atau
menolongku saat perahuku berputar di pusaran yang cukup kencang. Aku juga tidak
lupa bersyukur karena memiliki kesempatan untuk menjadikanmu sebagai bagian
dari hidupku, ceritaku, surat-suratku. Dan begitu juga sebaliknya. Betapa serakahnya
jika masih saja aku tidak bersyukur. Sebelum aku lupa caranya bersyukur, aku
ingin sekali menjadikan kesempatan ini sebagai lahanku untuk menjadi pribadi
yang senantiasa gemar memperbaiki dan mengembangkan diri. “Syukuri dengan
bersungguh-sungguh, yak!”, kata salah seorang teman.
Saat Bertemu Sesama Pelaut dan Para Bajak Laut
Bung, di masa pandemi sebagain
besar masyarakat tidak bisa dibilang baik-baik saja bukan. Semua mengalami
resah, khawatir atau situasi yang serba tidak pasti. Sebagian lainnya terperanjat
karena kondisi yang njeglek. Yang ‘ada’
jadi ‘berkurang’, yang ‘kekurangan’ jadi ‘tidak punya’, yang ‘jadi’ menjadi
ditunda atau bahkan dibatalkan, dan berbagai varian ekstrem lainnya. Situasi ini
jadi tantangan bagi setiap insan untuk tetap bisa mempertahankan kewarasan,
bukan?
Tentunya sebagai ‘manusia’, kita
tetap membutuhkan tangan orang lain untuk menggenggam kita agar kita tidak
jatuh. Sekalipun terperosok, masih ada mereka yang mengulurkan tangannya. Koneksi,
dan silaturahmi jadi salah satu hal yang dibutuhkan saat ini. Namun pertemuan
dengan pelaut lain di tengah samudera yang begitu luas dan tidak pasti seperti
situasi ini tidak dapat diterima dengan mudah begitu saja. Kita juga perlu waspada,
apakah ia pelaut sama seperti kita, atau justru bajak laut? Situasi ini cukup
mengajarkanku, dan mungkin seluruh manusia bumi membedakan mana teman dan mana
yag bukan. Mana teman yang tulus menemani kita dalam pelayaran dan mana yang
penuh kepentingan. Aku harap Bung juga demikian dalam menyeleksi siapa yang
tetiba meminta begabung di perahumu.
Tapi Bung, kau tak perlu khawatir
soal bajak laut. Mereka cuma mampir saja ke perahuku. Memang ada beberapa yang
kuberikan: jerih payah tenagaku, pikiranku, waktuku, emosiku, bahkah hasil
tanganku. Tapi benar, ya... siapapun itu, entah pelaut lain maupun perompak
sekalipun yang mampir selalu meninggalkan kisah yang dapat kita ambil pelajaran
tentangnya. Sehingga di rute berikutnya kita jadi lebih siap jika bertemu kembali
dengan yang serupa. Asal jangan sampai terbunuh dulu. Astagfirullah..naudzubillahi
min dzalik..
Namun, lagi-lagi patut disyukuri
aku lebih banyak bertemu dengan pelaut-pelaut yang sama-sama sedang berjuang
menuju pelabuhan mereka. Emm, ada yang selalu menyemangati dan mensupportku
jika berpapasan, ada pula yang masih mencari kemana pelabuhan tujuannya, ada yang
berputar-putar dan bingung dengan petanya, ada yang kompasnya rusak, perahunya bocor,
ada yang karam namun tidak tenggelam, alias sandar di dermaga saja, dan ada
juga yang baru saja membeli kapal cepat dan melesat jauh hingga tak lagi terlihat.
Beragam.
Aku terkadang, sesekali duduk
bersama mereka di warung tepi pelabuhan sambil sedikit bercerita kisah pelayaran
kami sejauh ini. Aku didengarkan, dan pula mendengarkan. Bertukar cerita membukakan
pandanganku tentang bagaimana dunia bekerja selain pada diriku. Aku jadi tahu,
bahwa ada masalah seperti itu dan terjadi dalam kehidupan seseorang. Sembari mendengarkan,
aku coba merefleksikan apabila aku berada diposisi mereka, apa yang akan
kulakukan. Aku melihat beragam cara penyikapan seseorang terhadap suatu masalah,
sekaligus belajar bagaimana empati itu.
Oh ya, Ada yang lucu kemarin. Ada
seorang teman yang bercerita soal kekecewaannya pada seseorang dan ia meminta
tanggapanku. Katanya cara menjawabku cocok buat jadi mantu idaman. Hahaha aku
ketawa lepaaass, dan sekaligus GR di awal. “Di saat orang mikir buruk, kamu
menjawab degan bahasa dan pilihan kata yang meneduhkan, idaman banget buat
anak2 yang sering emosian (emot ngakaks)”, ini teks penjelas darinya. Dan jangan-jangan
aku ini pohon. Hehe, untungnya temanku ini perempuan. Tenang saja, Bung [hehe].
Aih, tapi bukan mau sombong nih..xixixi. Aku hanya hendak menunjukkan bahwa aku
masih baik-baik saja. Walaupun memang dunia ini sangat dinamis, dan terlalu
banyak ketidakpastian, terlalu banyak orang yang kita temui dan terkadang kita sering
dibuat bingung apakah seseorang atau lingkungan tersebut aman bagi kita atau
tidak, namun siapa yang bisa memungkiri hal itu? Seseorang yang mampu menolong
diri kita pertama kali adalah diri kita sendiri. Dan aku percaya aku masih
menjadi orang itu. Dan Bung, selanjutnya
adalah dirimu.
Menuju Pelabuhan
Tidak lama, salah seorang temanku
mengatakan kalau ldr adalah salah
satu proses yang menantang. “Pasti kerasa banget prosesnya, dan aku gak tau bakal sekuat kamu
apa enggak”, katanya. “hehe, tiap orang punya cerita berjuangnya masing-masing
ya”, jawabku. “iya lak bener” pungkasnya. Bung, kita pasti sudah khatam soal paradigma ldr. Dan jawabanku ataupun jawabanmu
masih sama. Pada dasarnya ini cuma soal jarak, sehingga tidak ada masalah. Justru
buatku, dan buat mu juga yang sudah terbiasa ini, bisa jadi tidak jauh berbeda baik
saat duduk berhadapan maupun lewat komputasi awan.
Lucu sekali, aku menempatkan ldr sebagai pembuka paragraf. Pelabuhan apa
nih maksudnya? [Hahaha]. Hemphh..aku hanya ingin bersyukur, bahwa sebenarnya
walaupun pelabuhanku belum terlihat dari perahuku sekarang. Setidaknya Bung, aku
sudah menggambarkan rute dan konsekuensi seperti apa yang harus aku lewati
untuk menuju ke sana. Aku menyadari bahwa aku masih sering berputar-putar mengitari
pulau yang sama, aku masih keliru membaca kompas, atau bahkan masih kesulitan
mengembangkan layar. Tapi aku akan mencoba beragam cara, dan mencari substitusi
cara dengan sungguh-sungguh. Karena sementara, inilah
yang aku pahami dari ‘bersyukur’. Dan aku rasa, untuk menuju pelabuhan tersebut,
sepertinya aku sudah tahu siapa yang akan aku temui dan akan menemaniku menuju
kesana. Ini tanggal 9 Desember. 2 minggu lagi kita akan bertemu, Bung. Aku sabar
menunggu! Assalamualaikum..
Komentar
Posting Komentar