Berayah Seorang Pelaut
Inget ngga, kapan pertama kali
kita mengenali dan meyakini bahwa mereka adalah keluarga kita? Wanita berambut
hitam tebal dan panjang dengan cara bicara yang tegas dan lugas itu ibu kita? Dan
lelaki dengan tinggi standar berkulit langsat serta berwajah lonjong itu adalah
ayah kita? Inget ngga, waktu itu apa kita disuruh memilih yang manakah sosok
yang akan kita panggil ibu dan ayah? Tidak. Kita berproses secara alami mengenali
dan menginternalisasinya ke dalam diri kita, bahwa “yap ibu ibu dan ayahku”.
Aku seorang kakak tertua di
keluarga intiku, beradik dua, laki-laki dan perempuan, serta kedua orang tua
yang lengkap. Mama adalah seorang ibu rumah tangga dengan bermilyar hasrat berjuangnya.
Beliau mengerjakan pekerjaan rumah, mengurus kami semua, dan berdagang kue
ringan, sesekali masakan berat, aktif dalam beberapa keorganisasian. Dan Papaku,
seorang TNI Angkatan Laut.
Karena belakangan sering sekali
rasanya mengulangi untuk berkenalan dengan diri sendiri, maka pada tulisan kali
ini aku mencoba mengenaliku lewat “dari mana aku dilahirkan?”. Telah banyak
penelitian yang menemukan bahwa lingkungan keluarga berpengaruh dalam pembentukan
karakter dan kepribadian anak. So, barangkali jika ingin mengenali seseorang, salah
satunya lihatlah keluarganya. Satu persatu aku mencoba membredel anggota keluargaku. Tapi bagiku hal yang cukup membentuk
diriku secara dominan adalah karena papaku seorang pelaut.
Mengenali Papa
foto bersama mama papa di ulang tahun pertama |
Di usia 1 tahun itulah aku mulai
mengumpulkan data lanjutan mengenai Papa, hingga akhirnya saat ini aku mampu
menginternalisasi bahwa itu Papaku. Walau kami bertiga lahir tanpa Papa
disamping Mama, pada akhirnya kami juga menginternalisasi bahwa beliau adal
ah
Papa kami. tentang bagaimana wujud fisiknya, suaranya, pekerjaan dan apa yang
ia kerjakan, hobinya, cara beliau menyikapi masalah, respon-respon andalan
beliau yang membuatnya khas, dan masih
banyak lagi.
Menerjang Ombak Tiada Takut,
Menembus Badai Sudah Biasa...
Pernah dengan cuplikan lagu itu? Coba
nyanyikan. Inget ngga judulnya apa? Yap, betul Nenek Moyangku Seorang Pelaut. Dulu,
waktu pertama masuk TK, lagu itu yang diajarkan ke telinga kami, mengingat yayasan
sekolah kami berafiliasi langsung dengan TNI AL. Dendangan lagu itu dan
mars-mars lainnya mengalir dalam memori hingga sekarang. Bisa aku rasakan,
bahwa lirik-lirik lagu itu cukup mempengaruhi caraku memandang hidup. Menghadapi
ragam jenis badai drama dalam hidup.
Bukan hendak takabur, karena aku sampai detik ini masih berpegang teguh pada kekuatan maha Agung dari Allah SWT yang senantiasa melibatkan tangan-Nya dalam setiap masalah yang aku hadapi. Namun, aku mencoba menarik kebelakang tentang bagaimana aku bisa kesulitan merasakan betapa ‘sulitnya’ masalah dalam sebagian besar masalah yang aku alami. Aku merasa masalah adalah bagian yang melekat dalam hidupku. Maka dari itu aku harus hidup dengannya. Itu yang menjadikan aku terbiasa. Aku hanya khawatir saja, jika suatu saat aku berhadapan dengan masalah, aku tidak menyadari bahwa itu adalah masalah.
Kalau boleh diceritakan hal terdrama
apa yang pernah aku alami dalam hidup? Jawabannya adalah menjadi anak pertama
yang berayah seorang pelaut. Lahir tanpa didampingi ayah, dan mengantarkan ibu
melahirkan kedua adik tanpa didampingi ayah. Mungkin hal ini berlebihan jika
dianggap sebuah momen heroik. Tetapi setelah kembali dirasakan, ternyata aku
sudah melampaui ombak sejak kecil! Waktu itu aku diantar papa mendaftar di
sekolah TK, beliau bilang di hari pertama masuk sekolah Papa sudah berangkat
berlayar. Problem konflik di Aceh tahun 2002 waktu itu. Sedang Mama dengan
perutnya yang sudah besar, sebentar lagi akan melahirkan adik pertamaku. Papa cuma
bilang “Kak, nanti jagain mama ya. Dibantuin”, sederhana namun berat bagiku
jika aku membayangkannya sekarang. It meant
alot, right? Bahkan aku sudah dipanggil kakak sebelum adikku lahir. Tetapi aku
yang masih kecil cuma bisa mengangguk. “Why don’t you stay right here?”, kalimat
itu ngga terucap waktu itu. Mamah mungkin sudah menerima ditinggal waktu itu. Segenap
konsekuensi mental ‘ditinggal’ dalam arti sebenarnya pun sepertinya memang
harus disiapkan. Kepergian ayah-ayah kami ke medan perang sekaligus harus
dimaknai dengan sebuah perpisahan. Karena tidak pernah ada yang bisa memastikan
apakah mereka akan pulang kerumah.
Malam Kontraksi
Siswi TK berusia 4 tahun dini
hari itu (kisaran pukul 1) mendapati mamanya yang tiba-tiba mules. Cairan sebening
kristal tanpa bau mengalir membasahi kaki mama. Hal pertama yang aku lakukan
waktu itu adalah berlari keluar dan menggedor beberapa rumah tetangga. Kami memang
masih baru di komplek perumahan, kenal dengan mereka pun hanya sebatas sapaan. Tetapi
aku mencoba beberapa rumah, dan dari 6 rumah ada dua yang membukakanku pintu. Rumah
pertama, suami-istri itu menolak permintaan tolongku dengan alasan bukan muhrim.
Aku ingat betul dan diusia yang makin dewasa ini aku akan selalu membenci
mereka berdua sampai waktu yang tidak bisa kupastikan. Apa yang diketahui anak
yang baru saja masuk sekolah tentang istilah muhrim?
foto adik pertamaku |
Pada akhirnya rumah kedua,
pasangan suami-istri yang sebaliknya, akan aku kenang sampai kapanpun dalam
hidupku. Semoga Allah membalasmu dengan pahala jariyah seiring tumbuh kembang
adikku. Saat mendengar tangisan pertama adik laki-lakiku, air mata pun berderai.
Yang kurasa waktu itu hanya senang, karena adikku sudah terlahir ke dunia, dan
tentunya mama tidak lagi merasa berat untuk berjalan kemana-mana. Alhamdulillah
aku menjadi kakak.
foto adikku yang terakhir |
Malam yang serupa terjadi saat aku duduk di kelas 4 SD, persis ketika adik pertamaku masuk
sekolah TK nol kecil. Papa sedang pendidikan untuk kenaikan pangkat. Adik keduaku yang segera lahir bisa selamat dan sehat walafiat karena diboyong tepat waktu oleh pasangan suami-istri yang berbeda dari kelahiran sebelumnya. Waktu itu kami berdua menggedor rumah-rumah tetangga kami. Situasinya lebih baik, karena kali ini mobil yang membawa mama ke rumah sakit. Aku tidak bisa membayangkan betapa pegalnya pinggang dan kaki mama di kelahiran sebelumnya dengan menunggangi motor astrea yang bunyinya sudah cukup berisik. Tapi kembali aku bersyukur atas Kuasa Allah, walau adik keduaku ini sempat kehabisan air ketuban, luar biasanya dia tidak kekeringan. Mereka berdua sehat dan selamat. Berulang kali aku melihat keajaiban dunia di depan mata, ialah proses kelahiran.Berterimakasihlah pada Diri
Kecilmu Karena Pernah Menaklukkan Salah Satu Ombak
Aku juga harus berterima kasih
pada sunnatullah hidup, dengan berayah seorang pelaut. Disadari, disengaja atau
tidak, Papa telah membentukku menjadi perempuan yang cukup kuat dan mandiri
dalam menyelesaikan masalah. Dan Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa atas segalanya,
Ia tidak mungkin membebankan kita pada sesuatu yang melebihi kemampuan kita. Jika
kita merasa melampaui ombak yang lebih tinggi, jangan-jangan masih ada ombak
lain yang jauh lebih tinggi yang mungkin menurut Allah bisa kita lampaui.
Kuatlah kuat! Bismillah. Semangat juga buatmu!
Komentar
Posting Komentar