Perak Barat, Kawasan Ekspedisi Penguji Empati
Keringat berlinangan
bersama matahari yang kian meninggi di jalan raya besar yang penuh sesak truk
tronton itu. Perak Barat. Areal yang padat aktifitas ekpedisi itu minim celah
untuk sebagian motor untuk melaju. Siang itu memasuki 27 Ramadhan 1439 Hijriyah,
sepanjang jalan raya Perak Barat bagaikan lampu merah tiada henti. Sekalipun maju,
tak ampai satu meter. Kesabaran sungguh diuji detik itu. Bau menyengat karbon
monksida bercampur bau keringat para pekerja kasar, dan tentu saja aroma khas
matahari siang yang semakin menstimulus amarah. Di pertigaan jalan dekat pom
bensin perak yang berbatasan langsung dengan gapura besar pelabuhan Tanjung
Perak, laju lalu lintas padat-lancar. Setidaknya ritme laju lalu lintas yang
padat itu konsiten berkat bantuan tukang parkir Rumah Makan Padang yang
berbesar hati mennggantikan polantas waktu itu.
Ratusan motor
lainnya berjubel saling mendahului, ingin segera lepas dari jalur macet itu. Seorang
bapak paruh baya dengan kantong besar yang dikaitkan dengan jok motornya
perlahan maju melalui sisi kanan motorku. Raut wajahnya yang buru-buru semakin
menjadi saat terdengar pengendara lain yang bergumam, “wadoh, nyerondol ae. Macet
iki lo”. Bapak paruh baya itu semakin mempercepat lajunya, tapi apalah daya
celah tidak ada. Sesekali ia membenahi kantongnya yang melorot akibat
menyenggol kendaraan lainnya. Tidak lama kemudian, tibalah giliran barisan
motorku yang melaju. Kebetulan bapak paruh baya dengan kantong di motornya itu
satu kloter denganku dan pengendara-pengendara lain di belakangku. Bunyi ‘ceklik’
dari kopling motor-motor bebek berpadu dengan suara ditariknya gas motor,
menandakan semakin cepat para pengendara terbebas dari jebakan macet. Namun
tidak diprediksi, tiba-tiba mesin kendaraan bapak paruh baya yang berkantong itu
berhenti. Beberapa kali pria itu menyalakan tombol starter, namun tetap belum
bisa. Sontak semua pengendara dibelakangnya menekan keras-keras klakson mereka.
Tin, tin, tin. Ada pula yang menekan
tanpa melepaskannya hingga beberapa detik, saking emosinya. Tidak peduli motor
atau mobil, mereka kompak membunyikan klakson. Herannya, kendaraan lain yang awalnya
tidak membunyikan klakson menjadi terstimulus untuk ikut mengeraskan klakson
mereka. Barangkali ini yang dinamakan efek crowd
dalam kajian-kaijan sosiologi. Orang-orang ikut merasa terganggu atas
kejadian berhentinya kendaraan bapak paruh baya yang secara tiba-tiba itu
setelah melihat salah seorang atau hanya beberpa yang membunyikan klakson. Dengan
ekspresi panik, bapak paruh baya itu menengok kebelakang sembari meminta maaf
kepada pegendara-pengendara lain. Kemudian pengendara lain kembali berdesakan
menjari celah alternatif untuk melaju kedepan. Ada yang hanya melaju begitu
saja, ada pula yang melaju sambil menekan klaksonnya, serta yang mengumpat dan
memampatkan alis, tanda kekesalan. Bapak paruh baya masih berusaha meminggirkan
motornya ke tepi jalan yang masih padat akan kendaraan hingga ia pun terpaksa
menggunakan starter manual yang melibatkan kaki untuk menyalakannya kembali.
foto:dokumen pribadi |
Komentar
Posting Komentar