Rumahku Sekolahku
Sebagai mahasiswa
semester akhir, kebetulan saya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama
belahan jiwa saya. Skripsi namanya. Menyadari kalau hidup ini bukan hanya soal
skripsi, rasa bosan dan kebuntuan pasti melanda. Dengan mengerjakan beberapa
kegiatan pengembangan diri di organisasi, dan juga projek bersama dosen dan
teman-teman, ini menjadi lahan belajar buat saya.
Saat corona datang,
situasi ini semakin mengamini saya untuk belajar dirumah saja. Saya pun harus
menyulap kamar saya menjadi ruangan sidang dengan hawa yang cukup hangat
cenderung panas. Hehehe. Begitu pula dengan kegiatan belajar dan pengembangan
diri lainnya, semuanya dimediasi oleh digital.
“Jadikan setiap tempat sebagai sekolah, jadikan setiap orang sebagai guru”. -Ki Hajar Dewantara-
Salah satu quote Bapak
Pendidikan Nasional tersebut betul-betul relate
sama kondisi di masa pandemi ini, sekaligus menjadi hikmah yang bisa kita ambil
di situasi seperti ini. Dimanakah tempat yang saat ini paling realistis untuk
kita belajar? Tentu saja rumah.
Sebagai kakak pertama dengan
dua adik yang masing-masing duduk di kelas 7 dan kelas 11, saya mengempati
perubahan gaya belajar mereka. Yang semula belajar dengan seragam rapi di bangku
kelas, kini bisa dilaksanakan sebelum mandi diatas bantal dan kasur lengkap
dengan gawai beserta earphone dan koneksi
internet.
Sayang sekali apabila
hal-hal yang semula bisa diperoleh
melalui interaksi langsung, dikaburkan oleh metode belajar yang cukup baru ini.
oleh karenanya keluarga sebagai sekolah yang paling realistis saat ini dapat
berperan sebagai media pembelajaran danvpengembangan diri insan-insan
didalamnya.
Ada beberapa hal yang pengen
saya share tentang gimana rumah kita
saat ini berfungsi juga sebagai sekolah.
Setiap
Anggota Keluarga Merupakan Insan Pendidikan
Kita tentu pernah tahu kalimat
yang menyatakan kalau madrasah (sekolah) pertama di dalam hidup seseorang
adalah keluarga. Baik yang memberikan pembelajaran maupun peserta belajar,
tentu orang-orang didalamnya.
Begitu pula yang
terjadi saat ini, setiap anggota keluarga kini dapat menjadi guru sekaligus
murid di rumah. Pengalaman ini saya sadari ketika keluarga saya lengkap
berkumpul. Ternyata pembelajaran tidak terbatas pada lingkungan akademis yang
hanya melihat kemampuan dari perolehan skor atau predikat berupa huruf dan
angka saja.
Saya cukup bersyukur karena
Mamah dan papa sering membiasakan kami untuk saling mendengarkan, bagaimana
cara berkomunikasi yang baik kepada orang lain, bagaimana mengendalikan emosi
saat marah, dan juga menyikapi berbagai situasi dan kondisi, termasuk dalam
masa pandemi yang serba tidak pasti ini.
Begitu pula Mamah dan Papa,
mereka cukup menyadari bahwa orang tua tidak selamanya benar, baik dalam berpikir,
bersikap, dan berperilaku. Siapa sih yang tidak pernah bertengkar sama orang
tua? Saya pun sering, apalagi sama Mamah. Tetapi ketika kesepakatan untuk sama-sama
belajar sudah terbangun, maka komunikasi dan diskusi adalah satu-satunya jalan
terbaik.
Dalam suatu kesempatan Mamah
pernah meminjam kalimat dari acara televisi, begini katanya “menjadi orang tua
adalah pembelajaran seumur hidup, Kak”, dan saya pun tersenyum simpul. Sehingga
saya yakin bahwa rumahku juga sekolahku.
Empati
dan Kerjasama sebagai Mata Pelajaran di Rumah
Di sekolah kemampuan
akademik dilatih melalui beberapa mata pelajaran seperti Matematika, Sejarah,
Sosiologi, dan Ilmu Pengetahuan Alam. Semakin banyak berlatih kita dapat
semakin mahir. Mahir Matematika, mahir Sejarah dan lainnya.
Harapannya hasil latihan
tersebut dapat berimplementasi positif bagi siswa di lingkungannya kelak. Begitu
pula pembelajaran di rumah, berlatih empati untuk mahir mengempati sesama. Berlatih
kerjasama, agar mahir menyelesaikan masalah bersama-sama.
Hampir 3 bulan kita
semua dianjurkan untuk stay at home, ternyata
cukup menumbuhkan rasa empati satu sama lain antar anggota keluarga. Saya dan
kedua adik saya yang biasanya menghabiskan separuh hari kami di sekolah atau di
luar rumah, saat ini seolah mata kami dibukakan kembali atas pekerjaan rumah cukup
fantastis.
3 bulan adalah waktu
yang cukup untuk menjelaskan bagaimana pekerjaan kerumahtanggaan seorang ibu. Seru
juga rasanya membicarakan kesadaran dan kepedulian masing-masing siswa di
rumah. Ternyata setiap anggota keluarga sebenarnya terketuk untuk mengambil
peran berdasarkan kemampuannya masing-masing.
Saya sempat mengikuti
diskusi kecil yang dimulai oleh Papa sehabis berbuka. Papa menawarkan pada kami
untuk mengambil peran bersih-bersih rumah selama Ramadhan, dengan membebaskan
kami memilih jobdesk yang kami suka. Padahal
sudah sejak lama, masing-masing kami mendapatkan peran kami dirumah. Lalu buat
apa dibicarakan lagi? Jawabannya adalah, sesederhana menjadi mahir matematika. Agar
mahir untuk peka, agar mahir untuk peduli, dan agar mahir bertanggung jawab.
Proses pembelajaran
juga butuh evaluasi. Tidak masalah jika dalam kesehariannya banyak sekali
ketidakidealan. Karena menurut orang
bijak, nyawa dari pendidikan itu adalah proses pembelajaran itu sendiri. Semoga
di masa pandemi ini kita tetap bersemangat untuk menghidupkan nyawa pendidikan,
walaupun di rumah saja.
Itu tadi cuplikan
refleksi saya mengenai peran rumah sebagai sekolah. Semoga dapat diambil
hikmahnya! Selamat Hari Pendidikan Nasional Indonesia!
Soft skill yang tidak kita dapatkan di sekolah, ternyata bisa didapatkan di rumah yah
BalasHapusIya kak betul skali. Rumah jadi tempat pembentukan soft skill paling realistis bagi anak2 dan sluaruh anggota kluarga😊🌿
Hapus