RONA DALAM BERTUTUR-Festival Mendongeng Bersama Kak Rona Mentari (Sebuah Review)


Melestarikan budaya bertutur menjadi semangat dari perempuan kelahiran Yogyakarta, 23 September 1992 itu. Rona Mentari. Ia dikenal sebagai juru dongeng keliling, sekaligus aktivis storytelling. Pernah belajar di International School of Storytelling (ISOS) dibawah naungan Emerson College di Inggris, dan berkesempatan menerima Beasiswa Unggulan Non Degree dari Kemendikbud untuk belajar disana. Hari itu, Minggu 30 Juni 2019, ia mampir ke kotaku untuk membagikan pengalaman mendongengnya yang berhasil meronakan pipiku. Seminggu sebelumnya Kak Fitria Oktaviani, saudariku, mempromosikan padaku dan sobatku Azhar Nasywa, soal event Festival Mendongeng yang diadakan oleh komunitas Kumpul Dongeng Surabaya

, yang kebetulan bertempat di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur, di Jalan Menur Pumpungan No.32, Surabaya. Mereka yang datang rata-rata berlatarbelakang sebagai guru, ibu rumah tangga, aktivis mendongeng lainnya, dan sebagian kecil mahasiswa seperti aku ini, serta seorang siswi kelas enam SD yang datang bersama gurunya. Ada banyak hal yang bisa kubawa pulang setelah mengikuti serangkaian acara berdurasi kurang lebih tiga jam ini, mulai pukul setengah sepuluh hingga setelah dhuhur.
Saat ini kita telah sampai pada era serba digital, dimana teknologi telah megambil bagian dalam kehidupan manusia. Kita tidak lagi bercakap dengan isyarat. Telepon, radio, dan televisi saat ini bahkan kalah dengan kecanggihan media baru yang serba cepat. Dahulu masih sempat duduk berkumpul di ruang keluarga sambil mendengar cerita ayah sepulang dari kantor, kakak yang adu mulut dengan temannya sebangku, atau gambar adik yang dipuji ibu guru.  Sayang, sekarang mulai menepi di ruang masing-masing bersama si layar sentuh.
Mungkin ini salah satu hal yang membuat Rona Mentari ada di forum belajar kami hari itu. Budaya bertutur memiliki dampak yang besar bagi perkembangan seseorang. Pada pembukaan, ia menunjukkan pada kami sebuah foto buku harian bercover-kan salah satu film yang sempat booming saat aku duduk di taman kanak-kanak, Meteor Garden. Katanya, itu adalah buku hariannya dulu. Pada foto berikutnya proyektor menampilkan biodata pribadi yang ia tulis lengkap dengan ‘mafa’-‘mifa’, akronim khas anak 90an. Pada bagian cita-cita, ia menuliskan “menjadi pendongeng profesional”. Dari situ ia megungkapkan bahwa menjadi pendongeng merupakan cita-cita masa kecilnya. Ibu guru Tk mengenalkanya pada mendongeng, ia jatuh cinta dan berharap ingin seperti ibu guru suatu saat nanti. Selain suka mendengarkan, seorang anak senang apabila ada yang memberikan atensi pada ceritanya. Barulah ia sadari bahwa sang ibunda lah yang selama ini setia menjadi pendengar yang baik atas segala ceritanya sepulang sekolah. Kurasa, tidak hanya anak-anak saja yang suka didengarkan, aku pun begitu. Kau juga bukan? Bagaimana rasanya setelah membagi cerita? Bagaimana rasanya didengarkan?
Alasan lain adalah mengembangakan daya imajinasi seorang anak. Dalam forum belajar itu, Rona memberikan cuplikan kalimat dongeng tentang kelinci. Setelahnya, ia melempar pertanyaan pada kami, “kira-kira apa warna kelincinya?”. Orang-orang dewasa termasuk aku, menjawab apa yang selumrahnya kami ketahui mengenai warna tipikal bulu kelinci: cokelat, putih, hitam. Namun salah satu peserta termuda di forum itu menjawab “rainbow!”. Hal ini seketika menunjukkan bahwa imajinasi seorang anak memang tanpa batas. Imajinasi penting dikembangkan sejak usia dini. Bukankah sebuah mimpi besar juga berawal dari imajinasi?
Tidak ketinggalan, dongeng dapat menjadi salah satu lahan pengembangan emosi anak. Melalui alur kisah, penokohan, hingga hikmah dari sebuah dongeng mampu meningkatkan kepedulian dan empati anak. Biarkan emosi ini bermain agar anak dapat memetik pembelajaran yang tersirat dari sebuah dongeng.
Dalam forum belajar itu, aku dan peserta lainnya diajak untuk mempraktikkan serangkaian proses mendongeng. Ada konsep critical eleven yang dikenalkan Rona pada kami. Tapi kali ini bukan pembekalan untuk perjalanan udara. 3 menit di awal bagi seorang pendongeng merupakan kesempatannya untuk menstimulus atensi dari audiens. Bayak cara yang bisa dilakukan. Peserta lain diajak memberikan sumbangsi idenya, beberapa megusulkan: menyetel lagu yang relevan dengan dongeng yang akan dibawakan, menggunakan gestur yang menarik, bernyanyi, dan lain sebagainya.
Kemudian 8 menit di akhir, bertujuan menancapkan kesan pada benak audiens mengenai dongeng yang kita kisahkan. Di dalam kelas, kami disuguhkan dengan salah satu kisah klasik, yang barangkali sudah familiar di telinga kita. Kisah tentang si penggembala, domba dan serigala. Kunci pertama medongeng adalah meyukai dahulu cerita yang akan kita bawa. Proses selanjutnya adalah membaca dan mencernanya berulang kali, sebelum kita membuat peta konsep dari dongeng tersebut. peta konsep ini dirupakan dalam bentuk kolom yang nantinya harus kita isi degan visualisasi dari apa yang sudah kita cerna. Visualisasi kita gambar tanpa ada teks satu pun agar setidaknya kita memiliki gambaran atas adegan yang hendak ditampilkan. Kemudian mulailah panggung dongeng. Disini kreatifitas kita benar-benar dimaksimalkan dengan menggunakan teknik-teknik mendongeng seperti: gerak tubuh, gestur, varian suara, intonasi, mimik dan ekspresi. “Kalau kamu bisa nyanyi, nyanyi! Kalau bisa pakai boneka, pakai! Bisa berganti suara, lebih bagus”, begitu seru perempuan berhijab merah dengan topi merahnya itu.
Hal berikutnya yang semakin membuatku antusias adalah prinsip ‘tidak mudah baper’. Bagaimana tidak? Situasi audiens di lapangan cukup dinamis, dimana selalu ada saja hal yang tidak terduga. Rona pun pernah dibuat menangis karenanya. Tingkah anak-anak memang sulit untuk dibatasi, bisa saja mereka membuat gaduh dengan menebak-nebak alur cerita, mengabaikan cerita, atau bahkan memprovokasi teman-teman lain untuk meninggalkan cerita. Hal-hal tersebutlah yang berpotensi memendistraksi fokus si pendongeng. Pengendalian emosi benar-benar dilatih disini, oleh karenanya kita diminta untuk melakukan seragkaian proses sebelum mendongeng, seperti yang telah kusebutkan diatas agar setidaknya proses mendongeng kita terencana, dan hikmahnya tersampaikan.
Masih ingin sebenarnya kuceritakan detil dari serangkaian acara ini. Tetapi aku lebih ingin kau bisa hadir langsung di kelas mendogengnya di kesempatan berikutnya. Kuingin kau juga merasakan manfaat dari budaya bertutur ini. Walaupun dunia sedang gandrung dengan sistem komunikasi dengan komputasi awan, tapi kau jangan lupa, ada medium utama yang bisa membuat suaramu terdengar di telinga. Apa itu? Udara. Sampai jumpa di kesempatan berikutnya! Assalamu’alaikum...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mitos dan Fakta Jadi Announcer: Kata Alexandria Cempaka Harum, Pekerja Suara Komersil

Seberapa Greget Milenial Merencanakan Masa Depan? -Menilik Tantangan Milenial Hadapi Persaingan Kerja