Postingan

Belajar? Apa Enaknya?

Gambar
Illustration by Kak Ol Sampe kapanpun yang namanya belajar tuh nggak enak. Capek. Tapi... Gimana kalau jaman menuntut kita  untuk selalu belajar hal baru? Tidak bisa dipungkiri aku bukanlah mba Maudy Ayunda yang memiliki hobi belajar.   Jadi tiap kali butuh   belajar, hal yang pertama kali muncul di benakku adalah “akkhh, harus cari banyak referensi nih”, “duh pasti butuh waktu lama”. Kalau dihayati, belajar tuh sebenernya ngga melulu tentang bagaimana hasilnya. Apakah pengetahuan yang akan aku dapat, apa skill yang akan aku kuasai nanti, apakah hasil belajarku akan berguna. Kadang kita hanya tertuju pada titik ‘hasil’ saja, yang mana titik keberhasilan itu sendiri terletak di masa yang akan datang, tapi sering lupa sama proses yang sedang dijalani saat ini. Bahwa belajar bukan hanya soal hasil, tapi juga soal ‘bertahan’, itu bener banget. Nyari referensi, ngumpulin, memilah, membaca dan berlatih, diuji, berulang-ulang. Sungguh luar biasa mereka yang bertahan melakukannya. Hasilnya

Merayakan Hari Ayah

Gambar
Sempat dipanggil ‘om’, ayah satu ini memang unik. Tidak pantas terlihat marah, sulit menjauh dari dapur, terbiasa hidup di laut, hobi mencuci dan menjemur pakaian, merawat anak bebek, berkebun hingga menari perut. Papa waktu masih kurus Pembukaan yang keterlaluan ya, dari seorang anak yang ingin mengucapkan Hari Ayah untuk papanya. Iyap, saking susahnya bilang kalo “aku sayang papa”. Kenapa? Aku juga nggak tau alasannya. Entah mau bagaimana caranya mengutarakan rasa terimakasih yang sudah lama tersimpan. Bahkan sampai susah mau menyebutkan terima kasih untuk apa. Yang jelas untuk kehidupan yang tidak ternilai harganya, untuk masakan-masakan enak setiap harinya. Tapi tenang Pa, tulisan ini tidak bermaksud untuk sok-sokan menghadirkan suasana haru biru. Mari kita bertualang ke beberapa waktu lalu. Busi Vespa Pelangi Ini vespa berkekuatan pelangi   Di usia TK aku mulai mengenal sparepart motor bernama ‘busi’. Walau tidka tahu detail apa itu busi, aku memahami bahwa busi adalah salah

Mamaku Odamun, dan Kami Menerima

Gambar
Membincang hidup rasa-rasanya di usia 20an keatas, inginnya lebih sederhana saja. Menerima. Bukan pasrah ya. Tetapi menerima dengan menyadari segala apa yang sedang kita alami, atau dapatkan. Menerima dengan memahami sesuatu yang terjadi ada yang bisa kita ambil kendali atau cukup dengan berserah diri. Menerima dengan memahami sesuatu apakah itu baik, buruk, atau yang masih ditimbang nilai baik-buruknya karena masing-masingnya memiliki konsekuensi. Menerima dengan memahami kapasitas diri sendiri, dan mengontrol ekspektasi. Satu bulan ini, hasil tes USG pemeriksaan thyroid mamaku menyatakan bahwa terdapat benjolan kecil di sekitar lapisan kulit leher kiri-kanannya. Namun benjolan itu hanyalah gejala yang ditimbulkan oleh penyakit utamanya. Graves disease atau yang akrab dipanggil autoimun menjadi penyebab adanya benjolan itu. Aku sempat terkejut mendengar kabar dari dokter spesialis yang membantu mama. Tapi selanjutnya aku mulai mengingat kembali, apa yang terjadi pada mama belakangan i

Berayah Seorang Pelaut

Gambar
Source: wikihow Karena kita ngga bisa memilih dari keluarga mana kita dilahirkan.  It’s g iven to us, It builds us. Inget ngga, kapan pertama kali kita mengenali dan meyakini bahwa mereka adalah keluarga kita? Wanita berambut hitam tebal dan panjang dengan cara bicara yang tegas dan lugas itu ibu kita? Dan lelaki dengan tinggi standar berkulit langsat serta berwajah lonjong itu adalah ayah kita? Inget ngga, waktu itu apa kita disuruh memilih yang manakah sosok yang akan kita panggil ibu dan ayah? Tidak. Kita berproses secara alami mengenali dan menginternalisasinya ke dalam diri kita, bahwa “yap ibu ibu dan ayahku”. Aku seorang kakak tertua di keluarga intiku, beradik dua, laki-laki dan perempuan, serta kedua orang tua yang lengkap. Mama adalah seorang ibu rumah tangga dengan bermilyar hasrat berjuangnya. Beliau mengerjakan pekerjaan rumah, mengurus kami semua, dan berdagang kue ringan, sesekali masakan berat, aktif dalam beberapa keorganisasian. Dan Papaku, seorang TNI Angkatan La

Menjurnalkan Rasa Syukur

Gambar
Assalamualaikum, hai Bung...! Aku sudah lama sekali tak menyapamu dengan sebutan ini bukan? Ini sudah lewat seminggu lebih dari jadwal seharusnya, aku memposting surat cinta ini untukmu. Dan, aku yakin kalau kau murah maaf. Hehehe, maaf ya! T_T. Aku menyadari betul, bahwa di awal bertambahnya aktivitas baruku ini membuatku harus menata ulang bagian-bagian dari diriku yang berserakan. Jadwalku, pikiranku maupun mental, kesemuanya masih aku upayakan agar tetap berjalan semestinya. Walaupun begitu, percayalah aku menemukan energi di saat-saat dimana aku memunguti serpihan diriku yang bercecaran ini. Energi itu bernama syukur. Yang kurasakan, energi ini sangat berpengaruh bagiku dalam melanjutkan perjalanan. Percaya tidak? Dia menjadi bekal pokok yang sangat aku perlukan selama pelayaran ini. Saat melewati beberapa pulau Kita sempat dan cukup sering bertukar peta kita satu sama lain, rencana berhenti pada pulau-pulau tertentu juga kerap kali didiskusikan. Kau mau kesana, aku mau ke

Berbalas Surat Cinta

Gambar
Inget spot ini kan? Aku masih nyimpen fotomu dalam beberapa pose loh...:)  Hai, selamat datang kembali di ruanganku. Ruang rindu. Heheheh. Yap, minggu ini adalah giliranku menulis surat berbalas, sebuah ide yang kucetuskan di bulan lalu dan pada akhirnya kau sepakati juga. Terima kasih sudah menerima ide liarku ini untuk saling melayangkan surat, yang kita sepakati ini dengan sebutan surat cinta. Walaupun jemariku agak gemetar saat melabeli ruang blog kali ini dengan ‘surat cinta’, tapi aku memang tidak mau memungkiri kalau aku memang jatuh cinta.   Jika sebelumnya kau sempat bercerita soal keuntungan atas model komunikasi jarak jauh diantara sepasang kekasih yang sedang saling menabung rindu-dan juga bagaimana surat ini bekerja dalam memupuk rasa cinta diantara keduanya, maka kali ini aku akan coba tuliskan alasan mengapa ide surat cinta ini muncul. Ke’hadir’an Waktu kereta membawamu siang itu ke ujung barat Pulau Jawa, dan aku berdiri dengan melambaikan tangan pada sisa-sisa ba

Ketika Imam Berhenti Membaca Al-Fatihah

Aku sedikit kesal pada diriku sendiri karena bangun terlambat hari itu. Selepas begadang hingga jam dua dini hari, bertepatan pula dengan hari kedua menstruasi, aku pulaskan tidurku sampai setengah enam pagi. Apa yang membangunkanku waktu itu? Ya, suara omelan Mamah. Gelagapan, kuturunkan kakiku dari kasur. Masih setengah sadar aku mencoba memanggil kembali ingatanku bahwasanya ini 1 Syawal. Seharusnya di jam itu kami sudah cantik, ganteng, dan wangi. Tetapi justru masih berebut kamar mandi. Aku mengalah, menempati nomor urut terakhir. Mungkin karena perhelatan sholat Ied kali ini dirumah saja, lebih santai kesannya. Tidak dikejar waktu, seperti tahun lalu yang biasanya dulu-duluan untuk menempati shaff pertama masjid kampung kami. Hehehe. Takbir ke tujuh rakaat pertama, aku baru saja keluar dari pintu kamar mandi. Wangi baju koko, mukenah dan sajadah yang baru disetrika menyeruak sepanjang perjalanan menuju kamarku. Di ruang keluarga yang sekaligus menjadi ruang tamu kami itu, Pap