Belajar? Apa Enaknya?

Illustration by Kak Ol
Illustration by Kak Ol
Sampe kapanpun yang namanya belajar tuh nggak enak. Capek. Tapi... Gimana kalau jaman menuntut kita untuk selalu belajar hal baru?

Tidak bisa dipungkiri aku bukanlah mba Maudy Ayunda yang memiliki hobi belajar. Jadi tiap kali butuh belajar, hal yang pertama kali muncul di benakku adalah “akkhh, harus cari banyak referensi nih”, “duh pasti butuh waktu lama”. Kalau dihayati, belajar tuh sebenernya ngga melulu tentang bagaimana hasilnya. Apakah pengetahuan yang akan aku dapat, apa skill yang akan aku kuasai nanti, apakah hasil belajarku akan berguna. Kadang kita hanya tertuju pada titik ‘hasil’ saja, yang mana titik keberhasilan itu sendiri terletak di masa yang akan datang, tapi sering lupa sama proses yang sedang dijalani saat ini. Bahwa belajar bukan hanya soal hasil, tapi juga soal ‘bertahan’, itu bener banget.

Nyari referensi, ngumpulin, memilah, membaca dan berlatih, diuji, berulang-ulang. Sungguh luar biasa mereka yang bertahan melakukannya. Hasilnya? Apa ada jaminan timbal balik yang sepadan dengan proses yang dilalui? Sepadan dengan waktu yang diluangkan? Sampe sekarang aku juga masih sering denger “ngga sia-sia belajar selama itu”, “ngga sia-sia bayar kuliah/kursus semahal itu”, dan ngga sia-sia yang lainnya. Ketidaksia-siaan masih sering diukur dari ‘jadi apa’, ‘penghasilan berapa’. Belajar masih dianggap sebagai kegiatan yang sia-sia jika itu tidak menghasilkan apapun di kemudian hari. Ehehe..memangnya, standar keberhasilan yang dimaksud tuh yang kaya gimana?

Di suatu belahan bumi, ada sebagian mereka hasilnya bisa dibilang ‘sepadan’, di saat yang bersamaan ada juga sebagian mereka yang belum bertemu hasil yang diharapkan. Tentu itu bukan hal yang layak diperbandingkan, karena proses belajar setiap orang berbeda. Okeh disisni aku ngga bakal ngobrolin soal standar keberhasilan secara materi. Meskipun nggak dipungkiri kita sendiri sejujurnya berharap salah satu hasil ‘belajar’ kita mampu membawa kita pada titik berhasil secara materi, yang digadang-gadang cukup powerful untuk menampakkan keberhasilan. Tapi disini aku cuma pengen sharing, betapa bertahan dalam belajar mampu membentuk suatu pola. Pola yang membantu untuk survive dalam kondisi sulit sekalipun. Tentu ini tidak akan terlepas dari perbincanganku dengan orang-orang biasa terdekatku yang punya daya juang luar biasa dalam menghidupi mimpi lewat belajar. Meskipun cerita mereka bukan cerita yang paling luar biasa, tapi semoga niat berbagiku bisa kamu ambil hikmah juga.

Belajar & Keterdesakan

Terdesak. Mungkin terdengar seperti keterpaksaan, saat situasi nggak memungkinkan untuk untuk kita bertahan didalamnya lama-lama. Menurutku, hal paling mulia adalah kemunculan inisiatif untuk memikirkan jalan keluar, daripada hanya pasrah dan nggak melakukan apa-apa. Belajar sesuatu yang baru adalah salah satu jalannya. Yang jelas belajar juga nggak terlepas dari penggalian, penguatan, dan keyakinan akan minat dan potensi yang kita sadari bahwa kita memilikinya. Tapiii di sisi lain, ada jarum jam yang terus bergerak, menandakan kita butuh untuk cepat. Cepat berpikir, cepat mengenali masalah dan alternatif penyelesaiannya, serta bagaimana eksekusinya. Nggak mudah kan, bisa learning by doing.

Mustahil banget rasanya, kalo aku nggak amaze melihat orang-orang yang yang berani melawan keterdesakan dengan kembali belajar. Seorang teman bercerita kalau cari pekerjaan yang jauh dari kapitalisme kayaknya bagai mencari jarum di tumpukan jerami. Ritme dan sistem kerja yang menggiringnya menjadi selayaknya penjajah udah pasti nggak pengen dia teruskan. Berhenti dan memulai bisnis sendiri adalah keputusan yang tepat buat dia. Kisah lain datang dari mereka yang diPHK. Pemangkasan pegawai menggiring mereka untuk segera menembel kebutuhan untuk beberapa bulan kedepan. Belum lagi mereka yang harus membantu ekonomi keluarga, atau ingin merencanakan acara pernikahan mungkin? Atau bahkan yang sudah berkeluarga. Mempelajari skill baru bukan keputusan yang mudah. Tapi bukan juga mustahil dilakukan. Kita mungkin sering dengar ya soal job switch atau bahkan career switch . Ngga sedikit dari kita yang memilih jalan ini sebagai jalan keluar, walaupun harus mengubah sedikitnya career goal, ehehe (sorry, itu ngga sedikit ya Ol).  Kehadiran course-course digital di berbagai bidang di era ini sudah tidak terhitung jumlahnya, mulai dari yang gratis sampai puluhan juta. Ini menandakan bahwa sebetulnya kesempatan untuk mempelajari hal baru di era ini betul-betul terbuka. Sehingga kondisi terdesak sebetulnya nggak semengerikan itu kok. Belajar hal baru adalah bukti bahwa kita menyadari kondisi terbaik dan terburuk yang sedang atau akan kita alami. Didalamnya mengandung kesadaran akan kelebihan dan kekurangan diri, serta keinginan untuk bangkit dari situasi yang sulit.

Belajar & Kesabaran

Belajar itu butuh waktu lama. Gimana kalau kondisi mendesak tadi bener-bener menuntut kita harus cepat menguasai keahlian tertentu? Kalau tidak keberlanjutan hidup bisa terancam. Wkkwkw kok aku agak lebay, ya nulisnya? Hemmh...aku ngga bisa menyangkal, apalagi menggampangkan setiap kondisi yang dialami masing-masing orang. Kenapa? Karena pasti masing-masing kita punya masalah yang berbeda, dan kondisi kemendesakan serta tuntutan belajar yang berbeda. Lalu? Sabar emang jadi latihan yang nggak ada akhirnya. Salah seorang teman memberitahuku bahwa pekerjaannya saat ini cukup membuatnya mengalami penurunan skill. Karena apa yang  dikerjakan hanya itu-itu saja, terpaku pada satu alat. Perasaan kurang berkembang pastinya menyiksa banget, ingin rasanya segera mengakhiri kejenuhan itu. Tapi pada akhirnya sabar membuatnya bertahan dan memunculkan inovasi baru didalam pekerjaannya. Inovasi ini pastinya didapatkan lewat proses belajar yang dia lalui. Sekalipun harus bergerilya mencari kelas-kelas gratis. Dalam kisah lain, aku melihat seorang pebisnis pemula menggabungkan proses belajar dengan proses RnD. Proses RnD biasanya dilakukan oleh  periset dan ahli-ahli dibidangnya. Namun berbeda halnya ketika pelaku RnD adalah mereka yang barus saja mempelajari ilmu baru. Resiko kegagalan boleh jadi lebih besar, kan? Tapi aku sadar bahwa belajar mampu membuat seseorang terbiasa dengan proses berpikir dan solusi. Produk yang gagal dicari masalahnya apa, kemudian rancangan perbaikannya bagaimana. Begitu seterusnya. Kalau kamu ingat, Jiro Ono seorang Shokunin sushi-atau bisa dibilang maestronya sushi, dia adalah versi ekstrem kolaborasi antara belajar dan sabar. Sekalipun harus mengabaikan keluarga. Tapi pastinya kita berbeda kan?

Belajar & Keterbukaan

Selain kesabaran, belajar juga mengondisikan seseorang untuk lebih terbuka terhadap lingkungannya. Kesadaran akan kebutuhan ilmu menandakan bahwa seseorang sadar bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kekurangan. Memilih berguru, mempelajari sesuatu pada orang lain, atau suatu komunitas tertentu adalah cara yang elegan menurutku. Apalagi kalau orang atau komunitas tersebut merupakan ekspertis di bidangnya. Ada serial drama korea yang pernah menggambarkan soal ini. Twenty Five Twenty One kalau kamu nonton juga. Seorang anak yang mengidolakan atlet dan ingin menjadi seperti atlet tersebut, maka yang dia lakukan adalah menyelami dunia idolanya. Hal serupa dilakukan oleh salah satu sahabatku yang sedari SMA mengidolakan seorang penulis hingga waktu mempertemukan mereka dalam komunitas yang sama. Dan kabarnya, saat ini dia menjadi salah seorang yang dipercaya oleh penulis tersebut untuk menyelenggarakan berbagai event literasi. Tak hanya membuka diri untuk masuk ke dalam sirkel yang mampu membantunya belajar, tapi pada akhirnya dia bisa membatu orang lain yang ingin mempelajari hal serupa.

Belajar sebagai suatu refleks 

Apakah dari kisah-kisah diatas adalah kisah kesuksesan seseorang dalam melalui proses belajarnya? Nah, aku mau mengingatkan ulang, kalau tulisan ini bukan soal keberhasilan. Artikel yang aku tulis ini merupakan rangkuman dari proses belajar yang cukup powerful membuat seseorang untuk tetap memperjuangkan apa yang dia inginkan, dia sukai, dia impikan. Saat mereka sadar akan keterbatasan diri, akan situasi mendesak yang melingkupi mereka menjadikan belajar sebagai refleks. Gimanapun  juga mereka masih akan sungkan kalau dibilang berhasil, aku yakin. Tapi seenggaknya aku memahami kalau every moment is learning session buat mereka. Dan aku? Gimana dengan aku? Aku pun masih belajar. Tapi saat ini sedang cukup kelelahan. Wkwkwk. Doakan aku yaaa!

Kalau menurutmu sendiri gimana? Proses belajar apa yang meurutmu paling menantang? Boleh ngobrol di komentar?

Komentar

  1. Aduh, penggalan cerita yg digunakan salah satunya persis seperti kisahku, kaaak.. jadi semakin semangat belajar lagi ini ceritanyaaaa..
    Terima kasih buat artikelnyaaa

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

RONA DALAM BERTUTUR-Festival Mendongeng Bersama Kak Rona Mentari (Sebuah Review)

Mitos dan Fakta Jadi Announcer: Kata Alexandria Cempaka Harum, Pekerja Suara Komersil

Seberapa Greget Milenial Merencanakan Masa Depan? -Menilik Tantangan Milenial Hadapi Persaingan Kerja