Ketika Imam Berhenti Membaca Al-Fatihah

Aku sedikit kesal pada diriku sendiri karena bangun terlambat hari itu. Selepas begadang hingga jam dua dini hari, bertepatan pula dengan hari kedua menstruasi, aku pulaskan tidurku sampai setengah enam pagi. Apa yang membangunkanku waktu itu? Ya, suara omelan Mamah. Gelagapan, kuturunkan kakiku dari kasur. Masih setengah sadar aku mencoba memanggil kembali ingatanku bahwasanya ini 1 Syawal. Seharusnya di jam itu kami sudah cantik, ganteng, dan wangi. Tetapi justru masih berebut kamar mandi. Aku mengalah, menempati nomor urut terakhir.

Mungkin karena perhelatan sholat Ied kali ini dirumah saja, lebih santai kesannya. Tidak dikejar waktu, seperti tahun lalu yang biasanya dulu-duluan untuk menempati shaff pertama masjid kampung kami. Hehehe. Takbir ke tujuh rakaat pertama, aku baru saja keluar dari pintu kamar mandi. Wangi baju koko, mukenah dan sajadah yang baru disetrika menyeruak sepanjang perjalanan menuju kamarku.

Di ruang keluarga yang sekaligus menjadi ruang tamu kami itu, Papa memimpin sholat Ied. Selepas berpakaian, aku duduk sambil mendengarkan takbir dan lantunan surah di balik pintu kamar. Papa sebenarnya tidak terbiasa memimpin sholat jamaah dirumah. Kami lebih sering sholat fardhu sendiri-sendiri. Alasannya sedikit nyeleneh, bacaan surah Papa suka bikin ketawa. Jadi, daripada tidak khusyuk, lebih baik sholat sendiri-sendiri. “Maklum, kan Papa nggak pinter mengaji”, begitu katanya. Aku tersenyum kecil. Dalam hati aku yakin Tuhanku tidak melihat kekhusyukan hanya dari lagu atau murotal yang digunakan saat membaca ayat-ayat-Nya.

Patut kusyukuri, Ramadhan Ini pertama kalinya Papa memimpin kembali sholat isya’ berjamaah dirumah. Ketambahan pula dengan tarawih dan witirnya, kadangkala bergantian dengan adik laki-lakiku. Papa lebih sering melewatkan Ramdhan bersama kami karena tugas di tengah laut. Namun beliau Bukan Bang Toyib (hehehe). Lebaran juga demikian. Ini tahun keempat beliau tidak beridul fitri bersama orang tuanya di kampung. 

Al-Fatihah rakaat kedua mulai dibacakan. Arrahmanirrahiim, maaliki yaumiddin, lalu seketika hening. Kenapa berhenti, tanyaku dalam hati. Kudekatkan kupingku ke lubang bekas gagang pintu kamarku yang sudah lepas, dan memang tidak ada suara. Tak tahan penasaran, kubuka pintu kamarku. Dan Imam memang berhenti membaca Al-Fatihah. Papa menangis.

Dipaksakannya melanjutkan bacaan dengan pita suara yang semakin bergetar, dan sesekali menyeka air mata, namun terdengar sesak sekali rasanya. Adik laki-lakiku membantu dengan mengeraskan suara bacaannya, begitu pula Mamah dan adik perempuanku. Tak lama, Papa melanjutkan bacaannya hingga salam.
Tangisan atas perasaan acak, haru, bahagia, nelangsa bercampur dan pecah bersama kelima orang di ruang televisi pagi itu. Hari Raya, oh Hari Raya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RONA DALAM BERTUTUR-Festival Mendongeng Bersama Kak Rona Mentari (Sebuah Review)

Mitos dan Fakta Jadi Announcer: Kata Alexandria Cempaka Harum, Pekerja Suara Komersil

Seberapa Greget Milenial Merencanakan Masa Depan? -Menilik Tantangan Milenial Hadapi Persaingan Kerja