Berayah Seorang Pelaut


Source: wikihow


Karena kita ngga bisa memilih dari keluarga mana kita dilahirkan. It’s given to us, It builds us.

Inget ngga, kapan pertama kali kita mengenali dan meyakini bahwa mereka adalah keluarga kita? Wanita berambut hitam tebal dan panjang dengan cara bicara yang tegas dan lugas itu ibu kita? Dan lelaki dengan tinggi standar berkulit langsat serta berwajah lonjong itu adalah ayah kita? Inget ngga, waktu itu apa kita disuruh memilih yang manakah sosok yang akan kita panggil ibu dan ayah? Tidak. Kita berproses secara alami mengenali dan menginternalisasinya ke dalam diri kita, bahwa “yap ibu ibu dan ayahku”.

Aku seorang kakak tertua di keluarga intiku, beradik dua, laki-laki dan perempuan, serta kedua orang tua yang lengkap. Mama adalah seorang ibu rumah tangga dengan bermilyar hasrat berjuangnya. Beliau mengerjakan pekerjaan rumah, mengurus kami semua, dan berdagang kue ringan, sesekali masakan berat, aktif dalam beberapa keorganisasian. Dan Papaku, seorang TNI Angkatan Laut.

Karena belakangan sering sekali rasanya mengulangi untuk berkenalan dengan diri sendiri, maka pada tulisan kali ini aku mencoba mengenaliku lewat “dari mana aku dilahirkan?”. Telah banyak penelitian yang menemukan bahwa lingkungan keluarga berpengaruh dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak. So, barangkali jika ingin mengenali seseorang, salah satunya lihatlah keluarganya. Satu persatu aku mencoba membredel anggota keluargaku. Tapi bagiku hal yang cukup membentuk diriku secara dominan adalah karena papaku seorang pelaut.  

Mengenali Papa


foto bersama mama papa di ulang tahun pertama
Beberapa orang dikeluargaku, termasuk Mama, om, tante dan nenekku pernah menceritakan momen dimana aku bertemu papa secara sadar di usia 1 tahun dan memanggilnya dengan sebutan ‘om’. Aku ingat itu pertemuanku secara sadar dengan Papa, setelah terakhir bertemu sebelumnya di usia 6 bulan (data dari Mama), dan setelah itu papa kembali berlayar. Sejatinya memori bayi sudah mulai bekerja sejak umur 0 tahun (Turgeon dalam Rachmatia, 2019). Tetapi memori juga dipengaruhi repetisi dan kinerja syaraf yang kompleks. Jika tidak ada kesamaan data yang ditangkap panca indera, dalam hal ini tentang sosok fisik Papa, maka memori bisa tergantikan.

Di usia 1 tahun itulah aku mulai mengumpulkan data lanjutan mengenai Papa, hingga akhirnya saat ini aku mampu menginternalisasi bahwa itu Papaku. Walau kami bertiga lahir tanpa Papa disamping Mama, pada akhirnya kami juga menginternalisasi bahwa beliau adal
ah Papa kami. tentang bagaimana wujud fisiknya, suaranya, pekerjaan dan apa yang ia kerjakan, hobinya, cara beliau menyikapi masalah, respon-respon andalan beliau yang membuatnya khas, dan  masih banyak lagi.   

Menerjang Ombak Tiada Takut, Menembus Badai Sudah Biasa...

Pernah dengan cuplikan lagu itu? Coba nyanyikan. Inget ngga judulnya apa? Yap, betul Nenek Moyangku Seorang Pelaut. Dulu, waktu pertama masuk TK, lagu itu yang diajarkan ke telinga kami, mengingat yayasan sekolah kami berafiliasi langsung dengan TNI AL. Dendangan lagu itu dan mars-mars lainnya mengalir dalam memori hingga sekarang. Bisa aku rasakan, bahwa lirik-lirik lagu itu cukup mempengaruhi caraku memandang hidup. Menghadapi ragam jenis badai drama dalam hidup.

Bukan hendak takabur, karena aku sampai detik ini masih berpegang teguh pada kekuatan maha Agung dari Allah SWT yang senantiasa melibatkan tangan-Nya dalam setiap masalah yang aku hadapi. Namun, aku mencoba menarik kebelakang tentang bagaimana aku bisa kesulitan merasakan betapa ‘sulitnya’ masalah dalam sebagian besar masalah yang aku alami. Aku merasa masalah adalah bagian yang melekat dalam hidupku. Maka dari itu aku harus hidup dengannya. Itu yang menjadikan aku terbiasa. Aku hanya khawatir saja, jika suatu saat aku berhadapan dengan masalah, aku tidak menyadari bahwa itu adalah masalah.

Kalau boleh diceritakan hal terdrama apa yang pernah aku alami dalam hidup? Jawabannya adalah menjadi anak pertama yang berayah seorang pelaut. Lahir tanpa didampingi ayah, dan mengantarkan ibu melahirkan kedua adik tanpa didampingi ayah. Mungkin hal ini berlebihan jika dianggap sebuah momen heroik. Tetapi setelah kembali dirasakan, ternyata aku sudah melampaui ombak sejak kecil! Waktu itu aku diantar papa mendaftar di sekolah TK, beliau bilang di hari pertama masuk sekolah Papa sudah berangkat berlayar. Problem konflik di Aceh tahun 2002 waktu itu. Sedang Mama dengan perutnya yang sudah besar, sebentar lagi akan melahirkan adik pertamaku. Papa cuma bilang “Kak, nanti jagain mama ya. Dibantuin”, sederhana namun berat bagiku jika aku membayangkannya sekarang. It meant alot, right? Bahkan aku sudah dipanggil kakak sebelum adikku lahir. Tetapi aku yang masih kecil cuma bisa mengangguk. “Why don’t you stay right here?”, kalimat itu ngga terucap waktu itu. Mamah mungkin sudah menerima ditinggal waktu itu. Segenap konsekuensi mental ‘ditinggal’ dalam arti sebenarnya pun sepertinya memang harus disiapkan. Kepergian ayah-ayah kami ke medan perang sekaligus harus dimaknai dengan sebuah perpisahan. Karena tidak pernah ada yang bisa memastikan apakah mereka akan pulang kerumah.

Malam Kontraksi

Siswi TK berusia 4 tahun dini hari itu (kisaran pukul 1) mendapati mamanya yang tiba-tiba mules. Cairan sebening kristal tanpa bau mengalir membasahi kaki mama. Hal pertama yang aku lakukan waktu itu adalah berlari keluar dan menggedor beberapa rumah tetangga. Kami memang masih baru di komplek perumahan, kenal dengan mereka pun hanya sebatas sapaan. Tetapi aku mencoba beberapa rumah, dan dari 6 rumah ada dua yang membukakanku pintu. Rumah pertama, suami-istri itu menolak permintaan tolongku dengan alasan bukan muhrim. Aku ingat betul dan diusia yang makin dewasa ini aku akan selalu membenci mereka berdua sampai waktu yang tidak bisa kupastikan. Apa yang diketahui anak yang baru saja masuk sekolah tentang istilah muhrim?

foto adik pertamaku

Pada akhirnya rumah kedua, pasangan suami-istri yang sebaliknya, akan aku kenang sampai kapanpun dalam hidupku. Semoga Allah membalasmu dengan pahala jariyah seiring tumbuh kembang adikku. Saat mendengar tangisan pertama adik laki-lakiku, air mata pun berderai. Yang kurasa waktu itu hanya senang, karena adikku sudah terlahir ke dunia, dan tentunya mama tidak lagi merasa berat untuk berjalan kemana-mana. Alhamdulillah aku menjadi kakak.

foto adikku yang terakhir

Malam yang serupa terjadi saat aku duduk di kelas 4 SD, persis ketika adik pertamaku masuk

sekolah TK nol kecil. Papa sedang pendidikan untuk kenaikan pangkat. Adik keduaku yang segera lahir bisa selamat dan sehat walafiat karena diboyong tepat waktu oleh pasangan suami-istri yang berbeda dari kelahiran sebelumnya. Waktu itu kami berdua menggedor rumah-rumah tetangga kami. Situasinya lebih baik, karena kali ini mobil yang membawa mama ke rumah sakit. Aku tidak bisa membayangkan betapa pegalnya pinggang dan kaki mama di kelahiran sebelumnya dengan menunggangi motor astrea yang bunyinya sudah cukup berisik. Tapi kembali aku bersyukur atas Kuasa Allah, walau adik keduaku ini sempat kehabisan air ketuban, luar biasanya dia tidak kekeringan. Mereka berdua sehat dan selamat. Berulang kali aku melihat keajaiban dunia di depan mata, ialah proses kelahiran.

Berterimakasihlah pada Diri Kecilmu Karena Pernah Menaklukkan Salah Satu Ombak

Kisah kelahiran kami cukup menjadi pengingat bagiku, bahwa sesulit apapun kondisi dan masalah yang sedang aku dan keluargaku hadapi saat itu, tetap ada jalan jika kita mau beranjak dan memikirkannya. Aku tidak pernah membayangkan bagaimana jadinya apabila aku duduk termenung da menangis ketakutan saat melihat mama kesakitan. Jika aku diberi kesempatan untuk bertemu kembali dengan diriku yang masih kecil, aku akan mengatakan bahwa kamu luar biasa! Maka apa lagi yang kau takutkan? Aku bisa tegak dan tegar bersama dirimu sendiri dan juga kekuatan yang Maha Agung Allah SWT. dalam menghadapi kesulitan. Menjadi sebuah tamparan bagi diriku sendiri, bahwa kita perlu belajar dari diri kita di masa lalu yang pernah membuktikan untuk menaklukkan salah satu ombak. Dan insya Allah, Allah akan memeprtemukan kita dengan orang-orang baik yang justru akan mensupport dan membantu kita melampaui ombak yang lebih tinggi. Ingat mampu kita di masa lalu!

Aku juga harus berterima kasih pada sunnatullah hidup, dengan berayah seorang pelaut. Disadari, disengaja atau tidak, Papa telah membentukku menjadi perempuan yang cukup kuat dan mandiri dalam menyelesaikan masalah. Dan Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa atas segalanya, Ia tidak mungkin membebankan kita pada sesuatu yang melebihi kemampuan kita. Jika kita merasa melampaui ombak yang lebih tinggi, jangan-jangan masih ada ombak lain yang jauh lebih tinggi yang mungkin menurut Allah bisa kita lampaui. Kuatlah kuat! Bismillah. Semangat juga buatmu!  



Komentar

Postingan populer dari blog ini

RONA DALAM BERTUTUR-Festival Mendongeng Bersama Kak Rona Mentari (Sebuah Review)

Mitos dan Fakta Jadi Announcer: Kata Alexandria Cempaka Harum, Pekerja Suara Komersil

Seberapa Greget Milenial Merencanakan Masa Depan? -Menilik Tantangan Milenial Hadapi Persaingan Kerja