Pemuda dan Utopia Masa Depan


Masa depan bangsa itu ada di tangan para pemudanya. Jujur, telinga saya pekak mendengar quote jadul yang kesannya seperti tuntutan itu. Barangkali kalau tidak salah guru-guru saya dulu sering gembar-gembor tentang hal itu di depan kelas. Dalam hati saya nggrundel, “Kok enak? Sejarah kalian yang mbikin, kok malah kami yang tanggungjawab? Emoh, lah!”. Berat rasanya. Begitukah? Kalau boleh sedikit mengkritisi, memangnya dalam konteks masalah yang ada, apa yang bisa dilakukan oleh pemuda hingga para tetua berani mengamanahkannya pada mereka? Barangkali boleh pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab terlebih dahulu agar tidak terkesan utopis dalam mengabstraksikannya.
Kamu pemuda? Bisa apa?
Sebentar. Jangan dulu berpikir apa yang harus kita lakukan sekarang, ketika kita belum mengetahui apa permasalahan yang sedang terjadi. Kita belum tahu daya apa yang kita miliki. Atau jangan-jangan kita juga belum tahu siapa kita, peran apa yang kita angkuh saat ini. Konyol dan nekad namanya. Saya menganalogikan hal itu seperti seorang batita yang diminta mencari panjang garis miring pada segitiga siku-siku. ya, aplikasi rumus phytagoras. Lholak lholok. Jangankan mengerti bahwa susunan angka tersebut adalah sebuah “soal” yang harus diselesaikannya. Bahkan bisa jadi “angka” pun belum dikenalnya. Apalagi rumus phytagoras. Ia masih berada pada fase bermain, mengenal realitas di sekitarnya. Ia harus mengenal angka terlebih dahulu di taman kanak-kanak, kemudian pada tingkatan sekolah dasar ia harus meguasai penjumlahan, perkalian dan pembagian, kemudian tentang segitiga dan rumus phytagoras itu sendiri. Barulah lengkap bekal pengetahuannya untuk menyelesaikan soal-soal tersebut. Tidak hanya itu, ia harus sering-sering berlatih agar terbiasa menyelesaikan soal phytagoras dengan berbagai tingkatan kesulitan.
Persoalan rumus phytagoras tentu tidak mudah disamakan dengan permasalahan bangsa yang jadi tanggung jawab pemuda. Ya. Itu memang benar. Tetapi ada benang merah yang dapat kita tarik, yang pertama: bahwa sebelum kita beraksi dalam menyelesaikan masalah, perlu kita memiliki pengetahuan tentangnya, berkait dengan perumusan substansi masalah. Kedua: perlu ada proses pembelajaran hingga menjadi seorang yang expert dalam menyelesaikannya. Tantangan berikutnya adalah kompleksitas permasalahan bangsa yang seringkali sulit. Untuk menyelesaikannya adalah sebuah angan-angan saja. Ada orangtua yang berkata, “kamu ngapain, pusing-pusing mikirin negara?”. Waktu pembimbingan karya tulis ilmiah, dosen saya komentar tentang program yang saya tawarkan di essay tersebut, “kita itu tidak hendak menjadi hero ya. Program seperti ini tuh tugas kenabian. Kita nggak bisa njamin masyarakat jadi baik gara-gara program ini”. Saya terkikik mendengar komentar yang agak nylekit seperti itu. Disatu sisi, saya sebenarnya gatal ingin segera punya peran dan ikut andil dalam menyelesaikan masalah bangsa. Disisi lain, saya sadar kalau misi tersebut memang berat. Tetapi “berat”  ini lantas tidak boleh dihentikan langsung oleh tanda “.”, karena sesungguhnya kata “berat” lebih cocok apabila dilanjut dengan “ketika......”. Barulah lanjutannya bisa kita isi, hingga menjadi:
....berat ketika tidak memiliki pengetahuan
....berat ketika tidak memiliki keahlian
....berat ketika sendirian
Peranan pengetahuan dan keahlian
Sudah menjadi kewajiban bagi pemuda untuk senantiasa mengenyam pendidikan, memperluas wawasan. Hal ini dilakukan agar pemuda memiliki pengetahuan, mulai dari dirinya sendiri, potensi-potensi yang dimilikinya, serta kemampuan menghubungkannya dengan permasalahan yang ada. Seseorang mungkin dapat mengatasi berbagai macam persoalan di berbagai bidang. Tetapi ia pasti memiliki spesialisasi di salah satu dari beberapa bidang yang ia tangani. Hal ini dapat dikaitkan dengan minat dan bakat sesorang. Seseorang yang minat terhadap suatu bidang akan cenderung memiliki pengetahuan lebih banyak dari yang tidak. Ia akan senantiasa “kepo” dan terdorong untuk mendalaminya. Karena ia menaruh interest terhadap sesuatu itu. Kita dapat merefleksikannya pada setiap bidang yang ada di negara kita, mulai dari pendidikan, teknologi, ekonomi, moralitas dan agama, sosial, budaya, dan lain sebagainya. Tidak masalah setiap orang memiliki beberapa keminatan yang berbeda, yang terpenting adalah seberapa dalam mereka memahami apa yang mereka minati. “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, pengelihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya”. (QS. Al-Isra’ ayat 36). Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan akan cenderung mengikuti arus saja, tanpa tahu apakah arus tersebut mengantarkannya pada jurang atau tidak. Ketika tidak memiliki interest terhadap sesuatu, terlebih tujuan hidup, maka jelaslah utopis bagi pemuda sebagai pemangku masa depan bangsa. Pengetahuan saja tidak cukup, perlu adanya keahlian berupa bakat yang diasah hingga menjadi katalisator sesorang dalam menyelesaikan problematika di bidangnya. Dengan bakat, proses yang dijalankan menjadi lebih efektif dan efesien. Seperti analogi pengerjaan soal phytagoras tadi, semakin ia sering berlatih, semakin ia terbiasa, semakin pula ia mahir dalam menyelesaikannya.
Sendiri itu berat, bareng-bareng saja
Sehelai lidi tidak mampu membersihkan halam rumah yang kotor. Tetapi sapu lidi yang terdiri dari ratusan helai lidi bisa melakukannya. Satu pemuda potensial tanpa suara, tanpa pengaruh, bagaikan sehelai lidi tadi. Namun, ketika pemuda bersatu, saling berelasi, berorientasi mengabdi pada negeri, boleh jadi kata “utopis” bisa berubah menjadi “realistis”. Stok pemuda Indoneia mencapai 62,6 juta jiwa menurut data BPS tahun 2014, dimana hal ini merupakan angin segar bagi bangsa karena pemuda berkesempatan besar untuk mengambil peranan penting dalam tatanan masyarakat. Pemuda dapat berkumpul dan memilih berbagai macam jenis komunitas atau organisasi sesuai dengan interest mereka masing-masing yang mengarah pada tercapainya tujuan mereka. Melalui komunitas, organisasi, mereka dapat mengukur progres dan ketercapaian misi mereka. Dengan kata lain kata “berat” itu bersyarat. Dikatakan utopis ketika pemuda Indonesia tidak memiliki pengetahuan dan keahlian, atau justru apatis dan menghindar dari pengambilan peran di masyarakat.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

RONA DALAM BERTUTUR-Festival Mendongeng Bersama Kak Rona Mentari (Sebuah Review)

Mitos dan Fakta Jadi Announcer: Kata Alexandria Cempaka Harum, Pekerja Suara Komersil

Seberapa Greget Milenial Merencanakan Masa Depan? -Menilik Tantangan Milenial Hadapi Persaingan Kerja