Tulisan, Menulis, dan Manusia


Manusia, makhluk istimewa
Akal budi, luhur di jiwa
Biarkan jemari ini meraihnya
Sebuah pena menari di atas gerinda
Ia sambil berbicara
Lama-lama bersilihlah dunia

Setelah sekian lama ngga nulis, jadi kangen ngomong sendiri. Akhirnya blog ini reborn, deh. Saya ingat betul terakhir saya posting apa di blog ini. Tugas penjas orkes beserta curhatan-curhatan khas anak SMP. Saya sempat kehilangan kebermaknaan dari kegiatan menulis. Buat apa sih kita menulis? Haruskah menulis? Saya jadi inget kata guru pembimbing TIK saya waktu SMP. Pak Fauzy. Beliau yang kebetulan ngajarin saya ngeBlog pertama kali. Katanya, setiap orang barangkali ngga selalu bisa mengutarakan apa yang mereka pikirkan atau rasakan melalui komunikasi secara langsung. Justru menulis menjadi lahan bagi mereka yang mau menyalurkan pikiran dan perasaannya. Bahkan melalui tulisan seoseorang bisa menunjukkan siapa dirinya. Seseorang bisa mengembangkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan, mengubah seseorang hingga menggerakkan peradaban. Jujur, saya bingung. Lha kok ternyata sekarang saya masuk ke jurusan komunikasi. Akhirnya sedikit banyak #wkwkwk, pertanyaan saya kejawab deh. Kalo yang satu ini, kita bahas di postingan lainnya aja, ya. Saya jadi ngebayangin, seandainya saja para ilmuwan dan peneliti terdahulu ngga punya inisiatif mem-fisik-kan hasil pegamatan dan ijtihad mereka melalui media seperti: batu; pelepah kurma; kulit binatang; kertas; hingga internet di jaman now, barangkali saat ini kita akan sangat kesulitan untuk membuat sitasi dan halaman referensi di makalah kita. Bahkan ekstremnya dunia ini akan gelap dan ngga berkembang, karena tidak ada pengetahuan yang terjaga.
Tulisan membuat pengetahuan menjadi bersifat jariyah, walaupun penulisnya telah vakum. Syukur-syukur pengetahuan tersebut bisa memberikan dampak yang positif bagi masyarakat seperti mengedukasi, menambah wawasan demi pengembangan ilmu pengetahuan. Tapi bakalan jadi masalah, jika pengetahuan tersebut justru menimbulkan kesalahpahaman; menyulut permusuhan; hingga menimbulkan konflik. Nah fenomena kaya gini, nih yang lagi ngetrend ­akhir-akhir ini. Pasti Kawands pada ngga asing sama hoax, hatespeech, dan cyberbullying, yang bisa dibilang sebagai penyusup dalam kemerdekaan demokrasi. Emang sih, di jaman now kita punya kesempatan yang besar banget buat mempublikasikan tulisan kita, insight dan pengetahuan yang kita punya. Tapi kembali lagi kita juga perlu men-skeptisi diri kita sendiri sebelum mempostingnya, emang apa yang kamu sebar, buat apa kamu nyebarin itu? media apa yang kamu pakai? kalo sudah ngeposting, kira-kira gimana respon masyarakat yang membacanya? Kalo pertanyaan-pertanyaan tadi ngga mau mereka jawab dulu, bagi saya itu egois. Mereka ngga memikirkan bahwa sebenarnya yang mereka hadapi di balik layar komputer atau gadget mereka adalah manusia sungguhan. Pengetahuan yang tersebar luas dan meluber menimbulkan kebingungan bagi masyarakat. Bener atau ngga nih? Hoax atau fakta? Semuanya jadi tumpang tindih. Di lain cerita, sesorang mulai lupa bahwa ‘kata’ lebih tajam dari pedang. Buat para pelaku hatespeech, kita boleh kok ngga suka sama seseorang, sama suatu kelompok, tapi ngga usah deh ngajak-ngajak orang lain buat ikutan ngga suka, membenci, memusuhi, dan mendeskriminasi. Dan terakhir untuk temen-temen cyberbullyers, di balik layar gadget kalian itu ada seseorang yang punya hati. Kalian ngga bakal tahu, apakah dia sedih, kecewa atau bahkan menangis saat membaca pesan nylekit yang kalian kirim. Jangan sampe tulisan yang kita posting menjadi anak panah yang terlanjur menacap di dada seseorang, karena sekalipun dicabut, bekasnya masih meninggalkan luka. Luka yang dalam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RONA DALAM BERTUTUR-Festival Mendongeng Bersama Kak Rona Mentari (Sebuah Review)

Mitos dan Fakta Jadi Announcer: Kata Alexandria Cempaka Harum, Pekerja Suara Komersil

Seberapa Greget Milenial Merencanakan Masa Depan? -Menilik Tantangan Milenial Hadapi Persaingan Kerja